Sayaselalu melihat ke luar jendela, melihat jam tangan saya, memikirkan kapan saya bisa bermain sepak bola. Saya selalu percaya pada kemampuan saya, tetapi saya pikir dalam olahraga apa pun Anda membutuhkan sedikit keberuntungan. Yang paling penting (dalam hidup) adalah tidak membuang-buang uang Anda.
cerpenpengalaman pribadi " Kalah Menang Hal Biasa " Nama aku Bocil aku sangat gemar bermain sepak bola. Pemain sepak bola yang aku kagumi dan aku idolakan adalah "CR" atau orang lebih mengenalnya Cristian Ronaldo. Aku menggemari sepak bola dari kelas 3 SD. aku mempunya cerita tentang pertandingan sepak bola ku pertama kali
Cerpen"Kenangan Pada Sebuah Pertandingan" ini sendiri merupakan cerpen yang kembali mengingatkan kita, bahwa di balik sisi indah sepakbola, ada beberapa hal-hal getir dan ingatan yang menyesakkan yang selalu menolak untuk dilupakan.
Padabuku "Dongen Enteng ti Pasantren" karya Rahmatullah Affandi sering disingkat RAF, penulisnya mengisahkan pengalaman semasa di pesantren. Kisah tersebut ditulis dalam beberapa cerita, seperti antologi cerpen. Pada saat bulan puasa, di buku tersebut, selain mengaji sebagaimana umumnya di pesantren, ajengan menganjurkan untuk bermain sepak bola.
Vay Tiα»n Nhanh Ggads. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sepak bola, sebagai salah satu olahraga yang paling banyak dimainkan juga digemari di Indonesia, menjadi alternatif kegiatan di kala waktu senggang bagi banyak kalangan, khususnya anak-anak, pada sore hari. Tak terkecuali saya dengan teman-teman yang lain. Pada masanya, kami gemar sekali bermain sepak bola sepuasnya, sesukanya, tanpa mengenal waktu bermain. Pagi, siang, sore, bahkan malam hari pun tidak sepak bola menjadi olahraga favorit kami bersama sedari dulu. Rasanya, tidak repot dan tidak membutuhkan sesuatu yang mahal jika ingin bermain sepak bola. Cukup membeli bola plastik di warung terdekat pun sudah bisa bermain. Jika ingin bermain dengan bola bliter bola karet, kami biasa membelinya terlebih dulu di toko olahraga yang berada di kota dengan cara patungan sukarela. Uang yang sudah terkumpul sekira 50 ribu pun sudah lebih dari kata cukup untuk membeli bola bliter dengan kualitas paripurna. Ilustrasi anak-anak bermain sepak bola Vinivee via Kaskus Saya bersama dengan teman-teman yang lain biasa bermain bola di lapangan dekat rumah tanpa menggunakan sepatu. Soal gawang? Biasanya lebar gawang kami hitung manual dengan langkah kaki yang sudah disepakati. Bagaimana soal tinggi gawang? Ah, tinggal dikira-kira saja. Soal jumlah pemain dalam satu tim pun tidak perlu 11 orang, karena keterbatasan luas lapangan. Jadi, lebih kepada disesuaikan dengan banyaknya orang yang ada dan ingin bermain. Bagi kami, yang penting sama-sama bergembira dalam olahraga. Melepas penat setelah seharian belajar di sekolah. Sewaktu SMP sampai dengan SMA, sekira tahun 2003-2009, kami belum begitu terkontaminasi oleh handphone. Jadi, selama berkumpul juga bermain sepak bola tentu tidak akan terdistraksi oleh notifikasi yang kami berkumpul setelah azan ashar. Ada yang sambil mengobrol, membeli jajanan yang lewat, atau sekadar oper-operan bola dan pemanasan sebelum benar-benar bermain. Bahkan, saat sudah bermain pun ada saja yang melipir ke pinggir lapangan untuk membeli jajanan favorit atau membeli pop ice di warung sekitar lapangan karena haus. Ya, namanya juga bermain secara bebas. Tidak ada formalitas dalam hal peraturan, apalagi penggunaan semua bermain dengan suka cita tanpa terbebani harus jago seperti Cristiano Ronaldo, atau lincah dan penuh talenta seperti Lionel Messi juga Neymar. Asal lari, dapat mengoper, juga menendang semua melebur jadi satu. Tak jarang pula kami tertawa terbahak-bahak dan menghentikan pertandingan jika ada seorang kawan yang jatuh karena terpeleset atau melakukan hal yang menyebalkan seperti melorotkan atau menarik bermain sepak bola kala itu, kami semua tidak pernah mengenal waktu. Tidak ada pula batas akhir kapan harus selesai bermain. Hanya ada dua penanda akhir pertandingan; pertama, karena sudah capek, kedua berkumandangnya azan maghrib. Tak jarang pula bapak-bapak di sekitar lapangan yang menegur secara langsung untuk menghentikan pertandingan dan sebaiknya pulang ke rumah agar dapat segera bersiap melaksanakan solat maghrib. Kini, kami semua sudah beranjak dewasa dan disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Ada yang kuliah, ada pula yang bekerja. Sudah hampir sekira 6-7 tahun tidak ada lagi keceriaan yang hadir di lapangan setiap sore sampai menjelang maghrib. Kegiatan berkumpul, berbincang, dan bermain sepak bola sudah terganti dengan kecanggihan teknologi dalam satu genggaman disertai kemunculan banyak game yang dianggap jauh lebih menyadari bahwa, masa saya bersama teman-teman seangkatan lain sudah habis, untuk bermain dan berbagi keceriaan di lapangan setiap sore. Memang, ada alternatif lain seperti menyewa lapangan futsal untuk sekadar mengolah si kulit bundar bersama dengan yang lain. Hal itu terbilang sering kami lakukan. Namun, tentu rasa juga sensasinya lain. Dan kami sama-sama menyadari, tidak akan pernah bisa kembali ke masa yang biasa digunakan untuk bermain bola, saat ini sudah dimaksimalkan dan terganti dengan taman bermain anak. Keceriaan pun berganti. Paling tidak, hal tersebut jauh lebih baik karena generasi baru masih disediakan tempat untuk bermain. 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya
cerpen pengalaman bermain sepak bola